KEJORA DAN BINTANG
Oleh : Siti Nur Uswatun Hasanah & Rindu Wangi Hujan
Ketika
itu aku pulang dari sekolah yang tak jauh dari rumahku, seperti biasa aku
diantarkan oleh paman becak. Kemudian aku membayar ongkos dan membukakan pagar
rumah. Tiba-tiba dari belakang ada yang menarik tasku sangat kencang. tidak
salah lagi aku berpikir pasti dia adikku kejora. Dengan wajah polosnya sembari
tersenyum melihatku. Aku pun kesal menahan emosi seketika dia menarik
gntunganku. tidak seharusnya dia menarik gantungan tasku yang masih baru
dibelikan ayah dari Malaysia. Aku tidak tau kenapa kejora melakukan hal seperti
itu? Yaa aku berpikir dan berbicara dalam hati mungkin dia iri kepadaku karena
aku normal tidak seperti dia tidak normal.
Aku
langsung berlari kepada mama dan bilang,
“Ma,
Kejora menarik tasku sampai gantunganku lepas! Gantungan inikan baru dua hari
yang lalu ayah belikan ketika pulang dari Malaysia. Masa udah rusak lagi!”
Mamapun menjawab seraya tersenyum lembut
kepadaku,
“Tidak
apa-apa sayang. Nanti Mama bisa hubungi ayah lagi supaya memberikan lagi yang
baru, jangan kamu salahkan adikmu seperti itu, mungkin dia ingin bermain
bersama lagi denganmu. Mungkin dia rindu kakaknya seperti dulu yang slalu
bersama-sama bersinar seperti bintang kejora dilangit.”
Aku
mendecak sebal pada ucapan Mama.
“Aishhh!
Mama, Bintang sama Kejora itu beda jadi jangan sandingkan nama bintang dengan
kejora seperti itu. Banyak orang bilang Kejora itu tidak normal ma, Bintang
gamau disandingkan!” akupun menjawab seperti itu sambil berteriak.
“SSSSTTTT…..
Kamu kenapa bintang? Jangan berteriak seperti itu, Mama tidak suka. Kamu hanya
saja belum mengenal dekat Kejora, Kejora anak yang berbakat, penyayang walaupun
dia selalu membuatmu kesal bukan karena dia iri. Mama yakin suatu saat nanti
kamu akan kagum dengan adikmu,” jawab Mama memperingatiku.
Dan
ternyata percakapan aku dan Mama didengar oleh Kejora, memang Kejora anak tuna
rungu, tidak bisa mendengar. Tetapi pembicaraan kita tadi dapat dilihat dan
dimengerti oleh Kejora lewat gerak bibir kami. Kejora pandai mengikuti gerak
bibir kami yang tengah bercakap.
Astagfirulloh..
aku kenapa? Kenapa hal kecil saja aku besar-besarkan dengan mengadu kepada
Mama. Seharusnya aku bisa bersikap dewasa. Aku sedih, dan aku amat menyesal
kepada Kejora, terutama kepada Mama, ketika tadi Mama mengatakan bahwa Kejora
itu anak yg berbakat, penyayang walaupun dia selalu membuatku kesal”.
***
Hari
minggu pagi, aku keluar dari kamarku aku melihat Kejora sedang menonton
televisi, seperti biasa dia menonton kartun favoritnya spon kuning yang biasa
Mama gunakan didapur untuk mencuci piring. Hmm.... ya “si kuning kotak
Spongebob”. Aku heran kenapa dia suka sekali kartun itu.
“Eh,
Bintang. Udah keluar? Ayo sarapan dulu bareng-bareng!” sahut Mama memanggil
namaku dari pintu masuk ke arah dapur.
“Bintang,
Kejora, ayo sarapan dulu. Sini mama masak nasi goreng kesukaan kalian nih!”
sahut Mama kembali seraya menghampiri Kejora yang fokus menonton kartun.
“Ayo
kejora saying”, Mama mengusap lembut ujung kepalanya. Kejora yang polospun
tersenyum.
Di
meja makan aku sibuk sekali melihat Kejora yang asyik dengan crayon dan cat air
warna-warni. Aku berpikir dan berbicara dalam hati, mungkin dia ingin mengikuti
sepertiku melukis bulan lalu aku kan pernah juara lomba melukis sekota madya.
Akupun
bertanya dengan hati-hati kepada Kejora.
“Kejora,
itu apa yang kejora pegang?”
Kejora
hanya diam dan menunduk. Dan menggelengkan kepala. Kok kejora diam? Ibu
menyahut duluan sebelum kejora melakukakan tindakan
“Cepat
jawab apa itu?” tanyaku dengan nada yang semakin tinggi. Karena tidak biasanya
Kejora pegang benda seperti itu, maka aku sedikit heran.
Langsung
Kejora menuliskan kata-kata dengan pensil kesayangannya yang dibelikan oleh
Ayah ketika pulang dari Malaysia. Dia menulis dibuku catatannya.
Seperti
ini tulisannya yang kubaca.
“Kak
Bintang, hari ini kejora ingin melukis. Kakak bisa ajarkan kejora melukis hari
ini?” aku baca dengan perlahan, mengingat tulisannya hampir sulit kubaca. Mama
juga membaca tulisan dari Kejora.
“Oh,
tentu saja bias, Kejora! Kakak kan baik, pernah juara melukis lagi!” seru Mama
menyanjungkanku sebagai kakaknya yang pintar kepada Kejora. Kejora tersenyum
gembira. Sementara aku nampaknya kurang begitu antusias untuk mengajarkan
Kejora. Entahlah. Perasaanku berkata aku benci dia ingin mengikuti jejakku yang
memang pintar melukis! Aku tidak suka! Aku mengabaikan Kejora dan memutuskan pergi ke kamarku setelah selesai
makan.
***
Saat
berada dikamar, aku duduk dan melihat fotoku dan Kejora sebelum aku masuk
sekolah. Oh, ternyata yang kemarin-kemarin Mama bilang bahwa Kejora itu
mempunyai bakat. Ternyata bakatnya itu melukis sepertiku. Hanya saja saat tadi
Kejora membuat tulisan dibuku catatannya seperti itu ingin lebih dekat
denganku.
Arrgghhh!
Cukup! Jangan memikirkan hal yang tadi! Aku tidak ingin memikirkan bagaimana
Kejora dan apa yang ingin Kejora lakukan! Aku tidak peduli!
Tidak
lama kemudian ada yang mengetuk pintu kamarku. Surat bertanda hati terselip
pada celah bawah pintu kamarku. Surat itu berisi yang sanggup membuatku
tertohok.
“Kalau
kakak mau mengajarkanku melukis hari ini, kakak harus datang ke taman bermain
diseberang rumah ya! Dari adikmu kejora yang menyebalkan dan sering membuat
kakak kesal.”
Entahlah.
Kenapa dia menulis pesan seperti itu. Tidak sadarkah dia kalau saat ini aku
tidak ingin melihat wajahnya? Ya Tuhan! Benar-benar membuatku kesal! Kenapa aku
kesal sekali kepadanya? Aku tidak paham pada hatiku. Mungkin rasa iriku
kepadanya sudahlah sangat besar.
Setelah
aku baca aku tidak memperdulikan surat itu dan langsung pergi untuk tidur
karena hari itu sangat mengantuk sekali karena sudah makan.
***
“Bintang.
Bintang,” sayup-sayup terdengar suara Mama memanggilku sembari mengetuk pintu.
Ya ampun, berapa lama aku tertidur? Cukup lama aku tertidur pulas. Kepalaku
sedikit pening karena terlalu lama tidur. Aku langsung bangun dengan keadaan
setengah sadar dan membukakan pintu untuk Mama.
“Kenapa,
Ma?” tanyaku dengan suara yang cukup berat.
“Adikmu
kemana? Sejak tadi Kejora belum pulang juga. Sekarang udah mau larut malam.
Mama khawatir dengan kejora,” ujar Mama dengan raut wajah yang begitu khawatir.
“Nggak tahu, Ma. Kejora belum pulang?” tanyaku
kembali.
Setelah
itu, aku teringat dengan surat Kejora yang ia selipkan pada celah pintu
kamarku.
“Bentar,
Ma. Aku akan pergi keluar mencarinya,” ujarku seraya pamit kepada Mama.
Sore
itu hujan gerimis. Langit mendung. Aku berlari pelan menuju Taman untuk mencari
Kejora yang kemungkinan masih berada di Taman. Dan ternyata benar. Kejora baru
saja keluar dari area Taman dan matanya melihat kedatanganku.
“Kejora!”
teriakku cukup keras, berharap dia mendengarnya meskipun mustahil, mengingat
dia seorang tuna rungu.
Kejora
berlari dengan sebuah buku gambar pada tangannya. Dia menyeberang untuk
menghampiriku. Akan tetapi....
Braak!!!!
DEG!!
Jantungku
serasa terlepas dari tempatnya. Tubuhku seketika melemas. Kejadian barusan
sangat jelas terlihat olehku.
“Ke....Kejora?”
Kejora
tergelepak dengan kepala bersimbah darah setelah sebuah motor menabraknya dan
mementalkan tubuhnya sejauh beberapa meter. Sang pengendara motor pun tak luput
dari musibah. Namun yang kukhawairkan adalah Kejora. Langsung ku berlari menuju
Kejora.
“Astaghfirulloh!
Kejora! Kejora!! Tolong!” teriakku meminta pertolongan kepada pejalan kaki. Anehnya,
bukannya membantu adikku, mereka sibuk sekali merekam kejadian kecelakaan ini!
Dasar, manusia tak punya hati! Apakah dengan merekam adikku akan menyelamatkan
adikku?!
Kulihat
sebuah buku gambar pada tangannya yang tergenggam erat. Ku buka buku gambarnya.
Terlihatlah sebuah gambar berwarna, menunjukkan keluarga utuh, yaitu Mama,
Papa, aku dan juga Kejora. Kejora menggenggam tanganku pada gambarnya. Kemudian
pada bawah gambarnya ia tuliskan sebuah pesan.
“Ini
adalah keluarga bahagiaku. Kami akan bahagia selamanya. Aku mencintai Mama dan
Papa. Dan aku juga mencintai Kak Bintang. Sayang sekali. Kak, maafkan Kejora,
selalu bikin kakak kesal. Tapi walaupun kakak kesal sama Kejora, tapi Kejora
masih tetep sayang sama kakak”, imbuhnya.
Kedua
mataku menghangat. Air mataku perlahan mengalir deras. Aku menyesal. Aku amat
menyesal kepada Kejora! Aku adalah kakak yang jahat! Ya ampun, apa yang aku
lakukan kepadamu, Kejora? Aku terlalu kasar kepadamu!
***
Kejora
dinyatakan mati otak karena kepalanya terbentur sangat kuat saat kecelakaan
tadi. Itu berarti, tidak akan ada tanda bagi Kejora untuk sembuh. Kejora
bernafas, tetapi tidak hidup. Sisa usianya sudah diperkirakan hanya tinggal
satu minggu lagi. Ya ampun, Kejora. Maafkan kakak. Maafkan kesalahan kakak selama
ini!
“Kejora,
kamu mendengarkanku? Kakak menyesal telah menyakiti perasaanmu selama ini.
Bangunlah, Kejora. Bangun!” aku menangis disamping tempat tidurnya. Mama dan
Papa menangisi keadaan Kejora.
Andai
waktu bisa diulang kembali. Tidak, andai saja aku bisa menangkal kejadian ini.
Semua hal yang terjadi pada Kejora adalah salahku! Andai, keajaiban itu ada.
Aku ingin Kejora kembali hidup.
Kumohon!!
Keajaiban, datanglah kepada Kejora!!, aku berteriak bersungguh-sungguh dalam
hati. Selalu kupanjatkan doa kepadanya. Aku berharap Kejora dapat hidup dan aku
bisa memperbaiki kesalahanku kepadanya.
Kumohon!
Kumohon!
Detektor
jantung tiba-tiba berbunyi nyaring. Mama, Papa dan aku menatap layar detektor
detak jantung. Kami saling berpandangan. Mama dan Papa berseru gembira.
“Alhamdulillah!
Ya Allah, Alhamdulillah!” Papa dan Mama tak berhenti bersyukur. Aku hanya
menangis terharu. Doaku terkabul. Keajaiban datang untuk Kejora. Dan aku
berjanji, setelah kejadian ini, aku akan bersikap lebih baik kepada Kejora.
Akan aku buktikan janjiku.
“Kejora,
terima kasih udah maafin Kak Bintang,” gumamku dengan penuh rasa syukur.
Tamat
No comments:
Post a Comment